Tentang Arya
Suatu hari, Arya pulang ke rumah dari sekolah dengan perasaan suntuk. Wajahnya tampak di tekuk dan tidak ada senyuman sama sekali di wajahnya.
Sebagai seorang ibu, aku sudah paham kalau anak lelaki aku baru saja melewati masa kurang nyaman. Namun, aku memilih untuk menunggu sampai dia bersedia berbicara. Arya memang tipe anak yang terbuka. Ia sering bercerita apa saja yang dialami dalam keseharian. Termasuk saat di sekolah, misalnya sedang ada topik hangat dengan teman, pelajaran di sekolah, sampai di tegur guru karena ribut di sekolah.
Tapi itulah Arya, anakku. Dengan segala kehebohannya yang kadang membuatku pusing, dia tetap menjadi anak yang luar bagiku. Saat aku dalam kondisi sakit seperti ini, dia lah yang bertugas sebagai pemimpin bagi adik adiknya. Arya.juga yang kerap menegur kedua adiknya yang terkadang membuat rumah benaknya menjadi super heboh.
"Jangan ribut dong. Mama lagi istirahat. Kasian mama tuh!" katanya pada kedua adiknya. Tentu saja, mereka langsung menuruti perintah sang kakak. Walaupun itu hanya berlangsung sebentar, setelah itu rumah kembali heboh. Ada pula saat saat tertentu, Arya juga yang mulai menciptakan kehebohan di rumah. Ibarat jendral kancil, ia memimpin pasukan kecil yang terdiri dari kedua adiknya.
Arya selalu dengan sigap menyiapkan segala keperluan sekolahnya sendiri. Bahkan ia mandiri dalam berbagai aktifitas dirumah. Tak jarang malah Arya yang mengingatkanku untuk minum obat atau makan. Ia sigap menyiapkan minuman sebagai persiapanku minum obat.
"Mama harus sembuh ya,"pintanya dengan tulus. Aku hanya mengangguk sebagai tanda mengiyakannya. Bagiku, Arya anak yang luar biasa.
Kembali ke cerita awal saat Arya pulang dengan wajah tidak bergairah. Tanpa menunggu lama, keluarlah cerita dari mulut Arya.
"Ma, tadi aku marah sama temanku".
"Kenapa?" Tanyaku padanya.
Arya segera mengambil duduk di tepi ranjangku. Kala itu aku memang sedang berbaring di ranjang karena kondisi lagi tidak fit.
"Temanku mengatai mama. Aku marah, ma!"
"Maksudnya apa?" tanyaku bingung.
"Tenable bilang gini, Arya, coba bayangkan kalau seandainya mamamu meninggal. Apa yang kau lakukan? "
Kulihat ada sorot kesedihan di matanya saat ia bicara demikian.
"Aku marah, ma. Aku bilang sama dia. Mamaku lagi sakit. Kenapa kamu bilang gitu. Aku sampai mau nangis, ma".
Aku tertegun mendengar ceritanya. Pertanyaan temannya ternyata mengusik hatinya. Di sinilah aku melihat betapa Arya sayang padaku. Aku kemudian mencoba menenangkan hatinya. Aku bilang mungkin temannya tidak tahu kondisi mama, sehingga berani bilang begitu. Kalau saja ia tahu, mungkin dia tidak akan bilang demikian. Arya akhirnya mencoba mengerti apa yang kusampaikan. Ia kembali ceria kembali.
Well, cerita tentang Arya ini sedikit mengusikku. Mungkin bila aku dalam posisi yang sama dengannya, aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku tidak akan rela orang lain bicara kemungkinan terburuk tentang orang tuaku, walaupun itu hanya sekedar bercanda. Kenapa? Karena aku begitu menyayangi kedua orang tuaku.
Bersyukurlah aku, Arya masih bisa bersikap lebih bijak dalam menghadapinya. Anak sekecil dia, memang tidak mudah harus menerima kenyataan mama tercinta harus berjuang melawan kanker. Tapi aku tahu arya anak yang kuat. Dia pasti akan mampu menjadi anak yang mandiri, walaupun kelak aku tidak ada di dunia ini.
Aku bangga padamu, nak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar